- Ayah yang sibuk bekerja - Selasa, 06 Mei 2008

Seperti biasa Rudi, kepala cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka
di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya,
Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu.
Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.

"Kok, belum tidur?" sapa Rudi sambil mencium anaknya. Biasanya, Imron
memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke
kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga,
Imron menjawab, "Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?"
"Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?"

"Ah, enggak. Pengen tahu aja."
"Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam
dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja,
Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?"

Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara
ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak
menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya.

"Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam
ayah digaji Rp 40.000,- dong," katanya.
"Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok," perintah Rudi.
Tetapi Imron tak beranjak. Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Imron
kembali bertanya,
"Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?"
"Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah."
"Tapi, Ayah..." Kesabaran Rudi habis.
"Ayah bilang tidur!" hardiknya mengejutkan Imron. Anak kecil itu pun
berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya,
Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur.
Imron didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp
15.000,- di tangannya.

Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata,
"Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih minta uang malam-malam
begini? Kalau mau beli mainan, besok' kan bisa. Jangankan Rp 5.000,-
lebih
dari itu pun ayah kasih."
"Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah
menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini."

"Iya,iya, tapi buat apa?" tanya Rudi lembut.
"Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga
puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga.
Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-. Tapi
karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-, maka setengah jam
harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-. Makanya aku mau
pinjam
dari Ayah," kata Imron polos.

Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu
erat-erat.

* * *
tidak tahu apakah kisah di atas fiktif atau kisah nyata. Tapi saya
tahu kebanyakan anak-anak orang kantoran maupun wirausahawan saat ini
memang merindukan saat-saat bercengkerama dengan orang tua mereka. Saat dimana
mereka tidak merasa "disingkirkan" dan diserahkan kepada suster, pembantu
atau sopir. Mereka tidak butuh uang yang lebih banyak. Mereka ingin lebih
dari itu. Mereka ingin merasakan sentuhan kasih-sayang Ayah dan Ibunya.
Apakah hal ini berlebihan? Sebagian besar wanita karier yang nampaknya
menikmati emansipasi-nya, diam-diam menangis dalam hati ketika anak-anak
mereka lebih dekat dengan suster, supir, dan pembantu daripada ibu
kandung
mereka sendiri. Seorang wanita muda yang menduduki posisi asisten manajer
sebuah bank swasta, menangis pilu ketika menceritakan bagaimana anaknya yang sakit demam tinggi tak mau dipeluk ibunya, tetapi berteriak-teriak memanggil nama pembantu mereka yang sedang mudik lebaran.

Thanks to my lovely friend for the article

Label:


Dibawah ini adalah wajah Ninit yang menggemaskan

uy uy uy
Add me on friendster!!